Bagi anda penghobi dunia malam dan kebetulan butuh penyegaran, sekedar
selingan dari penatnya bekerja, atau mungkin kantong pas-pasan tapi
pengen jajan, atau sekedar pengen tau nikmatnya esek-esek kelas ekonomi
non AC, lokalisasi Padang Galak adalah salah satu tempat yang cukup
representatif sebagai tempat hiburan malam di Denpasar.
Sabtu malam, medio Juni 2008, sekitar pukul 21:43 Wita, kami bergerak
dari pusat kota Denpasar menuju arah Sanur menyusuri kawasan Renon,
Jalan Cok Agung Tresna, Tanjung Bungkak, dan Jalan Hang Tuah. Kemudian
membelok ke kiri di perempatan Jalan Bypass Ngurah Rai menuju arah
utara. Tak seberapa lama melewati jalan yang didominasi areal
persawahan, tampak sebuah jalan kecil beraspal seadanya. Jalan tak
bernama itulah jalan masuk ke lokalisasi tersebut. Kurang lebih jarak
lokalisasi sekitar 500 meter dari mulut jalan.
Kami membelok perlahan memasuki halaman parkir yang sedikit gelap.
Barisan sepeda motor tampak berjajar, terparkir rapi. Priit, suara
peluit juru parkir, dengan membawa senter, mengarahkan kami ke tempat
yang lowong.
Lorong-lorong gelap, sebagian tersinari lampu pijar bercahaya redup.
Jalan tanah liat berpasir dan sedikit berbatu menghubungkan antara blok
satu dengan blok lainnya. Di beberapa blok terpampang billboard
bertuliskan Wisma. Dalam tiap blok/ wisma terdapat kamar-kamar semi
permanen berukuran 3×4 meter, dengan satu tempat tidur, satu meja, satu
bangku kecil. Serta tersekat sedikit di tiap sudut belakang kamar, satu
bak air kecil yang dibatasi batako setinggi dada orang dewasa. Menyusuri
lorong demi lorong dalam keremangan, menjelajah wisma dan kamar-kamar,
aroma kotoran sapi sempat menyusup ketika kami melewati salah satu
lorong utama.
“Ngewek mas?” Sapa manja salah seorang PSK bertubuh subur kepada kami yang melewati wismanya.
“Berapaan?” Tanya salah seorang dari kami.
“Biasa, mas. Empat puluh ribu.”
“Karaoke?”
“Ya gak lah, mas. Sekali naik aja.”
“Ya nanti ya, mau liat-liat dulu”
Di wisma yang lain, kami dapati juga sapaan manja seperti PSK tadi.
Obrolan-obrolan singkat dan basi, sesekali menawar, juga
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban asal yang tak penting.
“Bir sebotol berapa mbak?”
“Dua lima”
“Kok mahal mbak?”
“Air putih mau?”
Kebanyakan dari mereka mengaku berasal dari daerah Jember dan
Banyuwangi. Mengaku bekerja sebagai PSK karena terpaksa, dengan berbagai
alasan keterpaksaan yang dipaksa-paksakan. Dan terpaksa tidak bisa kami
sebutkan satu persatu alasan-alasan tersebut (..hehehe).
“Ayo mas, ngewek. Ntar jam satu tutup lho”
“Bukannya tutup jam empat?”
“Jam satu, mas.”
“Gak usah lama-lama milih, mas. Semua rasanya sama. Sama-sama p***k.” kata PSK lain dengan dialek Maduranya yang kental.
Benar saja, tepat pukul satu dinihari, satu persatu lampu pijar yang
tadinya menyala tiba dipadamkan. Wow, dan kami terpaksa diusir tanpa
ngewek. Bunyi sirene pecalang (satgas lokal desa adat) dan pasukannya,
membubarkan segala aktivitas.
(Tim Apatis 2008. :: Irv, Ard, Jug, Par)
Sumber Text: Apatis,
0 comments:
Posting Komentar